Minggu, 06 Mei 2012
ESTETIKA POSTMODERN
DALAM MUSIK KONTEMPORER DI BALI
Oleh: I Gede Arya Sugiartha
Seni dewasa ini tidak hanya dipahami sebagai produk rasa, melainkan juga
mencerminkan kemampuan intelektual manusia. Pada mulanya seniman jarang
menjadikan seni sebagai wacana, ia lebih banyak mencipta dan melakukannya.
Namun merujuk pada pemahaman yang terus berkembang dan munculnya filsafat
ilmu pengetahuan modern, banyak filsuf professional maupun seniman mulai
membicarakan makna “seni”, “pengalaman estetik”, “kebenaran artistik”, yang
dipergunakan dalam wacana-wacana seni. Namun satu hal yang paling mengejutkan
adalah betapa sulitnya para filsuf dan seniman membuat batasan-batasan istilah dalam
seni, karena ketika menganalisis apa yang mereka maksudkan hasilnya sering tidak
konsisten pertautannya, sehingga perlu dipahami secara mendalam.
Salah satu misalnya wacana tentang seni dan keindahan. Pendapat yang paling
bersahaja dan sering kita dengar bahwa semua yang indah adalah seni, atau
sebaliknya bahwa semua seni itu indah dan yang tidak indah bukanlah seni; kejelekan
berarti ketiadaan seni. Identifikasi seni dan keindahan seperti ini adalah dasar dari
kesukaran kita dalam memberikan apresiasi terhadap seni. Bahkan pada orang-orang
yang nyata-nyata sensitif terhadap segi-segi estetikpun anggapan ini merupakan
sensor yang tidak disadari pada saat berhadapan dengan hasil seni yang kebetulan
tidak indah. Baik pandangan historis yang meneliti bagaimana hasil-hasil seni di
masa silam maupun pandangan sosiologis dengan memahami bagaimana manifestasi
seni sekarang ini di berbagai tempat di dunia ternyata bahwa hasil seni sering
merupakan sesuatu yang tidak indah.
Pada musik kontemporer misalnya, kita sering dihadapkan pada kenyataan
bahwa musik komtemporer tidak selalu bisa kita nikmati sebagai sesuatu yang indah
dan menyenangkan. Bahkan sebaliknya banyak karya-karya musik kontemporer
membuat penontonnya jengkel, bosan, bahkan marah yang berakhir dengan kecaman.
Namun apakah yang demikian itu tidak bisa kita golongkan kedalam sebuah karya
seni, inilah pertanyaan yang akan ditelusuri lewat pemikiran baru, lewat paradigma
baru sebagai dampak arus perkembangan intelektual manusia masa kini.
Dalam tulisan ini saya akan melakukan kajian estetika pada dua karya musik
yang lahir di Bali yaitu ”Mule Keto” (1987) dan ”Gerausch” (2005). Kedua karya ini,
sesuai dengan yang diperkenalkan oleh penciptanya adalah karya musik yang digarap
dengan konsep komtemporer. Namun demikian kedua karya ini memiliki perbedaan
orientasi dalam memaknai dan menerapkan konsep kontemporer, yang satu berubah
secara bertahap dalam bingkai yang lentur sedangkan yang satu melakukan
perubahan radikal, bahkan melampau batas-batas konseptual sebuah karya musik.
Karya yang satu dapat memberikan rasa senang, sedangkan yang satu menjengkelkan,
kenapa? Inilah permasalahan yang dicoba dibahas dengan menggunakan prinsip danalur pemikiran postmodern. Bersandar pada pendapat bahwa seni adalah bagian dan
unsur terpenting dari kebudayaan, maka dengan mencoba memahami kerangka
berfikir setiap era/jaman (pra modern, modern, postmodern), maka kehadiran seni
yang kebetulan tidak menyenangkan dapat dijelaskan.
ESTETIKA MUSIK KONTEMPORER BALI
Oleh:
I Gede Arya Sugiartha
1. Pendahuluan.
Kesenian sebagai bagian dari kebudayaan terjadi melalui proses kreativitas
yang konstruktif. Dengan kreativitas yang konstruktif, memungkinkan seniman untuk
meningkatkan kualitas kehidupannya melalui interaksi dengan lingkungan fisik,
sosial, intelektual, dan spiritual. Kreativitas dalam karya seni berkaitan dengan tiga
unsur kesempuraan dunia yaitu logika, etika, dan estetika. Oleh sebab itulah hasil
kerja kreatif ini oleh Susanne Langer (2006: 31) disebut sebagai ciptaan atau creation
yang dibedakan dari hasil kerja seorang buruh pabrik yang biasanya disebut produk.
Pembedaan ini walaupun diprotes oleh beberapa filsuf yang memiliki pandangan
antusias terhadap tegaknya demokrasi seperti John Dewey, pada akhirnya bisa
diterima.
Seni berkaitan dengan ekspresi jiwa yang dengan kesadarannya sendiri
menciptakan bentuk-bentuk dengan berbagai media ungkapnya. Pada mulanya
seniman jarang menjadikan hal tersebut sebagai bahan pembicaraan, walaupun
mereka kerap kali memiliki gagasan-gagasan yang baik dan jujur untuk menerangkan
apa hakekat atau makna dari yang ia kerjakan. Namun merujuk pada pemahaman
yang terus berkembang dan munculnya filsafat ilmu pengetahuan modern sebagai
karya intelektual yang paling cemerlang dewasa ini, banyak filsuf maupun seniman
profesional mulai membicarakan arti “seni”, “nilai estetis”, “kebenaran artistik”,
“bentuk”, “realita”, serta puluhan kata-kata yang mereka dengar dan dipergunakan
dalam wacana-wacana seni. Namun satu hal yang paling mengejutkan adalah betapa
sulitnya para filsuf dan seniman membuat batasan-batasan istilah dalam seni, karena
ketika menganalisis apa yang mereka maksudkan hasilnya tidaklah konsisten
pertautannya, sehingga susah dipertahankan. Salah satu misalnya wacana tentang seni dan keindahan. Pendapat yang paling
sering kita dengar bahwa semua seni itu indah dan yang tidak indah bukanlah seni;
kejelekan berarti ketiadaan seni. Identifikasi dan makna absolut seperti ini adalah
dasar dari kesukaran kita dalam memberikan apresiasi terhadap seni. Bahkan pada
orang-orang yang sensitif terhadap segi-segi estetikpun, anggapan ini merupakan
sensor yang tidak disadari pada saat berhadapan dengan hasil seni yang kebetulan
tidak indah. Baik pandangan historis yang meneliti bagaimana hasil-hasil seni di
masa silam, maupun pandangan sosiologis dengan memahami bagaimana manifestasi
seni sekarang ini di berbagai tempat di dunia, ternyata bahwa hasil seni sering
merupakan sesuatu yang tidak indah (Read, 1959: 3).
Di Bali, tempat dimana seni berkembang dalam kontinyuitas dan
perubahannya secara terus menerus (in constant flux), fenomena seperti ini juga kerap
terjadi. Pada musik kontemporer misalnya, kita sering dihadapkan pada kenyataan
bahwa jika kita sepakat pengertian keindahan itu adalah sesuatu yang dapat
memberikan rasa nyaman, rasa senang, rasa tentram dan sebagainya (Djelantik,
1990), maka musik komtemporer tidak selalu bisa kita nikmati sebagai sesuatu yang
indah. Bahkan sebaliknya banyak karya-karya musik kontemporer membuat
penontonnya jengkel, bosan, bahkan marah yang berakhir dengan kecaman. Namun
apakah yang demikian itu tidak bisa kita golongkan kedalam sebuah karya seni, inilah
pertanyaan yang akan ditelusuri lewat pemikiran baru, lewat paradigma baru,
mengikuti arus perkembangan intelektual manusia masa kini.
Dalam tulisan ini saya mencoba melakukan kajian estetika pada dua karya
musik yang lahir di Bali yaitu ”Apang Sing Keto” karya bersama mahasiswa Jurusan
Karawitan ASTI Denpasar Semester VIII Tahun 1987, dan ”Grausch” karya Sang
Nyoman Putra Arsawijaya tahun 2005. Kedua karya ini digarap dengan ide serta
konsep komtemporer. Namun demikian kedua karya ini memiliki perbedaan orientasi
dalam memaknai dan menerapkan konsep kontemporer, yang satu berubah secara
bertahap dalam bingkai lentur, sedangkan yang satu melakukan perubahan radikal,
bahkan melampau batas-batas konseptual sebuah karya musik. Apa yangmempengaruhi kedua gaya cipta musik kontemporer ini berbeda, secara awal dapat
diasumsikan yaitu karena perbedaan orientasi ekspresif senimannya. Namun kenapa
dan apa yang diinginkan seniman dalam menciptakan karya, inilah sesuatu yang perlu
ditelusuri. Selain secara internal dari dalam diri seniman, penciptaan sebuah karya
seni sering juga dipengaruhi faktor-faktor eksternal seperti misalnya trend dan
paradigma baru dalam memandang seni. Dari hasil kajian estetika kedua karya musik
kontemporer ini diharapkan dapat dipahami bahwa seni sebagai salah satu produk
intelektual manusia memiliki dimensi yang sangat luas.
2. Tentang Musik Kontemporer
Istilah musik kontemporer dewasa ini sudah sangat sering dipergunakan oleh
para insan musik Indonesia termasuk di Bali. Namun harus diakui bahwa pengertian
musik kontemporer yang tunggal dan bulat mungkin tidak akan pernah ada, karena ia
lebih menunjuk pada suatu prinsip-prinsip kecendrungan fenomenologis yang terlalu
heterogen, sehingga cirinya bukan pada kebakuan format melainkan idealisme yang
selalu berkembang. Secara etimologis kata kontemporer menunjuk pada arti “saat
sekarang” atau sesuatu yang memiliki sifat kekinian. Kata tersebut tidak berarti
sesuatu yang terputus dari tradisi, melainkan sesuatu yang dicipta sebagai hasil
perkembangan tradisi sampai saat ini. Kata kontemporer kendatipun harus diakui
diadopsi dari bahasa Inggris (Barat) contemporary, namun tidak relevan jika kita
selalu menghubungkan karya-karya kita semata-mata dari sudut pandang musik
kontemporer Barat. Terminologi kontemporer Barat inipun di ”Barat” tidak ada yang
bisa menjelaskan, kendatipun banyak diantara mereka yang mencoba mereka-reka
(Harjana, 2004:187).
Gendon Humardani seperti yang dikutip Rustopo (1990: 22-26) membatasi
kontemporer sebagai suatu sikap berkesenian yang sejalan dengan konsep seni
modern yang berorientasi pada masalah-masalah kehidupan masa kini. Sikap
kontemporer yaitu terus menerus mengembangkan kreativitas, mewujudkan yang
baru dan yang segar, mengakomodasi masalah kehidupan masa kini. Menurut EdiSedyawati (1981:122), istilah kontemporer sebenarnya luas. Rumusannya mudah
dikatakan tetapi tidak semudah menentukan batas-batasnya, bahkan cendrung kurang
memberikan manfaat. Ia menawarkan suatu batasan yang bergeser dari arti katanya
tetapi lebih mendekati maksud yang dituju yaitu seni kontemporer adalah seni yang
menunjukkan daya cipta yang hidup, yang menunjukkan kondisi kreatif dari masa
terakhir.
Dalam perkembangannya kemudian, penerapan pengertian kontemporer dari
yang semula sangat ideologis menjadi lebih khusus, yaitu mengarah ke sebuah
konsep untuk menggolongkan karya-karya yang selalu disemangati pencarian
kemungkinan baru, menekankan sifat anti pada kaidah-kaidah kompositoris, bahkan
anti pada bentuk-bentuk penyajian musikal yang baku dan mapan. Dari sudut
pandang konsep kreativitas, musik kontemporer dimengerti sebagai musik “baru”
yang dibuat dengan kaidah dan suasana yang baru. Paham mengenai musik tidak lagi
terbingkai pada sesuatu yang enak didengar saja, melainkan berkembang pada
gagasan menampilkan proses eksplorasi bunyi sebagai yang utama dan medium
ekspresi yang tak terbatas agar dapat mewadahi gagasannya. Dengan konsep ini akan
memberikan kebebasan kepada penciptanya berintepretasi berdasarkan pengalaman
batinnya masing-masing. Namun justru dengan bentuknya yang sangat bebas
membuat penikmat kehilangan pegangan untuk bisa menikmati musik, sekaligus
memahami unsur-unsur kebebasan yang ditawarkan sang pencipta.
Di Bali, aktivitas berkesenian dengan ideologi ”kontemporer” sesungguhnya
telah berlangsung sejak awal abad ke-20 dengan lahirnya seni kekebyaran di Bali
Utara. Namun wacana tentang musik kontemporer mulai mengemuka serangkaian
adanya Pekan Komponis Muda I yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1979.
Komponis muda yang mewakili Bali pada waktu itu adalah I Nyoman Astita dengan
karyanya yang berjudul ”Gema Eka Dasa Rudra”. Pada tahun-tahun berikutnya Pekan
Komponis Muda diikuti oleh komponis-komponis muda Bali lainnya seperti I Wayan
Rai tahun 1982 dengan karyanya ”Trompong Beruk”, I Nyoman Windha tahun 1983
dengan karyanya berjudul ”Sangkep”, I Ketut Gede Asnawa tahun 1984 dengankaryanya berjudul ”Kosong”, Ni Ketut Suryatini dan I Wayan Suweca tahun 1987
dengan karyanya berjudul ”Irama Hidup”, I Nyoman Windha tahun 1988, dengan dua
karyanya sekaligus yaitu ”Bali Age” dan ”Sumpah Palapa”.
Kehadiran karya musik kontemporer ini mulai terasa mengguncang persepsi
masyarakat akademik di ASTI dan STSI (kini ISI) Denpasar dan juga di KOKAR
Bali (kini SMK 3 Sukawati), karena musik ini cendrung mengubah cara pandang, cita
rasa, dan kriteria estetik yang sebelumnya telah dikurung oleh sesuatu yang terpola,
ada standarisasi, seragam, global, dan bersifat sentral. Konsep musik kontemporer
menjadi sangat personal (individual), sehingga perkembangannyapun beragam.
Paham inilah yang ditawarkan oleh musik kontemporer, sehingga dalam karya-karya
yang lahir banyak terjadi vokabuler teknik garapan dan aturan tradisi yang telah
mapan ke dalam wujud yang baru, terkesan aneh, nakal, bahkan urakan.
Pada tahun 1987 serangkain dengan tugas kelas mata kuliah Komposisi VI,
mahasiswa jurusan karawitan ASTI Denpasar semester VIII untuk pertama kalinya
menggarap sebuah musik kontemporer dengan judul ”Apang Sing Keto”. Karya yang
berbentuk drama musik ini menggunakan instrumen pokok Gamelan Gong Gede
dipadu olahan vokal dan penggunaan lagu ”Goak Maling Taluh” sebagai lagu pokok.
Karya ini kemudian ditampilkan pada Pesta Kesenian Bali tahun 1987 dan mendapat
sambutan meriah dari penonton. Pada tahun 1988 ketika Festival Seni Mahasiswa di
Surakarta, saya sendiri selaku komponis mewakili STSI Denpasar menggarap karya
musik kontemporer yang berjudul ”Belabar Agung” dengan menggunakan gamelan
Gong Gede. Dua karya terakhir ini sempat mendapat kecaman dari beberapa sesepuh
karawitan, karena dianggap memperkosa dan melecehkan gamelan Gong Gede yang
telah memiliki kaidah-kaidah konvensional yang mapan.
Dua tahun kemudian, satu garapan musik kontemporer dengan media ungkap
berbeda digarap kolaboratif oleh dua seniman I Wayan Dibia dan Keith Terry yaitu
”Body Tjak”. Karya ini merupakan seni pertunjukan multikultural hasil kerja sama
atau kolaborasi internasional yang memadukan unsur-unsur seni dan budaya Barat
(Amerika) dan Timur (Bali-Indonesia). ”Body Tjak” digarap dengan penggabunganunsur-unsur seni Kecak Bali dengan Body Music, sebuah jenis musik baru yang
menggunakan tubuh manusia sebagai sumber bunyi. Garapan bernuansa seni budaya
global ini, lahir dengan dua produksinya yaitu Body Tjak 1990 (BT90) dan Body
Tjak 1999 (BT99) (Dibia, 2000:10). Kedua karya ini memang murni lahir dari
keinginan seniman untuk mengekspresikan jiwanya yang telah tergugah oleh
dinamisme seni kecak dan body music. Dengan berbekal pengalaman estetis masingmasing, dan diilhami oleh obsesi aktualitas kekinian, kedua seniman sepakat
melakukan eksperimen dalam bentuk workshop-workshop sehingga lahirlah musik
kontemporer Body Tjak.
Kehidupan dan perkembangan musik kontemporer yang diawali event-event
gelar seni baik dalam dan luar negeri akhirnya juga masuk ke ranah akademik.
Mahasiswa jurusan karawitan ISI Denpasar telah banyak menggarap musik
kontemporer sebagai materi ujian akhirnya. Hingga tahun 2009 penggarapan musik
kontemporer masih mendominasi pilihan materi ujian akhir mahasiswa jurusan
karawitan, hal ini menyebabkan secara produktivitas penciptaan musik kontemporer
sangat banyak, model dan jenisnyapun sangat beragam. Penggunaan instrumen tidak
hanya terpaku pada alat-alat musik tradisional Bali, juga digunakan instrumen musik
budaya lainnya, bahkan mahasiswa sudah mengeksplorasi bunyi dari benda-benda
apa saja yang dianggap bisa mengeluarkan suara yang mendukung ide garapannya.
Musik kontemporer yang berjudul ”Gerausch” karya Sang Nyoman Putra
Arsa Wijaya adalah salah satu contoh eksplorasi radikal dalam musik kontemporer
Bali. Karya ini sempat memunculkan polemik kecil di kalangan akademik kampus.
Berkembang wacana ”apakah karya ini tergolong musik atau tidak, termasuk karya
karawitan atau bukan”?. Namun dengan pemahaman yang cukup alot dari masyarakat
akademik kampus, akhirnya karya kontroversial inipun telah mengantarkan sang
komposer memperoleh gelar S1 Komposisi Karawitan. Apa yang dijadikan titik tolak
menilai sesuatu sebagai karya seni, pemahaman konsep dan paradigma berfikir yang
sesuai dengan perubahan jaman diharapkan mampu menjelaskan seluruh fenomena
yang ada. Itulah musik kontemporer, ”kontroversial” adalah ciri keberhasilannya. 3. Kajian Estetika Musik Kontemporer Bali
Piliang dengan menyerap pemikiran Baudrilard membagi pembabakan jaman
dari kebudayaan berdasarkan prinsip relasi/pertandaan yang digunakan, menjadi tiga
yaitu: (1) Klasik/Pramodernisme; (2) Modernisme; (3) Postmodernisme.Dalam setiap
prinsip tersebut akan kelihatan pada entitas apa suatu bentuk tunduk atau tergantung
dan dalam setiap relasi/pertandaan atau model semiotik akan tampak bagaimana
kaitan penanda didalamnya (Mudana, dalam Mudra 2003:105). Perbedaan era inipun
akhirnya digunakan untuk menjelaskan kronologis kajian estetika dari masa ke masa
terutama dalam kebudayaan Barat.
Dalam estetika klasik digunakan prinsip bentuk mengikuti makna (form
follows meaning), artinya dalam setiap karya seni yang diciptakan lebih
mengutamakan makna. Estetika modern menggunakan prinsip bentuk mengikuti
fungsi (form follows function) yaitu karya seni diciptakan lebih berdasarkan fungsi
dan penggunaannya dalam masyarakat. Sedangkan estetika postmodern dengan
prinsip bentuk mengikuti kesenangan (form follows fun), karena kehidupan
postmodern adalah permainan untuk kesenangan belaka (Mudana, Loc. Cit).
Postmodern lahir dari inspirasi gerakan budaya ”radikal”. Paham ini
merupakan tuntutan budaya kapitalis khususnya bidang seni yang tidak
mengindahkan hukum-hukum, pola-pola budaya yang lazim dalam kesenian, dan
menolak hegemoni pemaknaan seperti pada paham seni klasik. Seni Postmodernisme
justru ingin menjebol sistem status quo. Oleh sebab itulah pemahaman, bentuk, dan
aktivitas seni tak harus di atur rapi, tak harus berkotak-kotak, berteori-teori,
melainkan dapat dimulai dari hal-hal sepele dan apa saja yang mungkin.
Teori-teori seni klasik yang sedikit kaku, tampaknya tidak mampu mewadahi
tuntutan jaman dan selera budaya masa kini, karena hampir selalu mematok sebuah
pemahaman budaya ’harus ini’ dan ’harus itu’. Padalah jika dicermati keharusan dan
kemutlakan semacam ini seringkali tak mampu melacak kebenaran fenomena budaya
itu sendiri, melainkan hanya sekedar kamuflase. Paham seni postmodern berpendapat
bahwa keindahan atau estetika tidak pernah terbayangkan. Estetika tidak selalu hadirdari unsur-unsur budaya yang besar. Jalan untuk mendapatkan keindahan perlu dicari
secara kreatif guna memberi makna pada budaya itu sendiri. Oleh sebab itu budaya
yang telah ada perlu didekonstruksi, karena konstruksi yang ada diasumsikan kurang
mampu dan gagal menemukan keindahan dalam arti sesungguhnya.
Sandaran dasar kaum postmodernisme bukan berarti menolak rasionalitas
yang telah dibangun kaum interpretif dan sebelumnya, melainkan ingin mencari
makna baru lewat kebenaran aktif kreatif. Logika yang digunakan adalah selalu
menemukan kebaruan, tanpa standar yang pasti. Oleh karena itu, kaum
postmodernisme berkilah bahwa, kebenaran dan keindahan yang selalu
mengandalkan grand theory sudah tidak relevan lagi. Namun mereka lebih
menghargai perbedaan, pertentangan, paradoks, dan misteri di balik fenomena
budaya. Pengertian postmodern seperti tersebut di atas sangat sesuai dengan ideologi
seniman penggiat musik kontemporer. Hal ini cukup mendasari asumsi bahwa
lahirnya musik kontemporer karena dijiwai oleh semangat postmodern.
Piliang (1998:151), secara ekstrem mengatakan lebih cocok menggunakan
istilah ”antiestetika” dari pada estetika, untuk menjelaskan fenomena estetika dalam
era postmodern. Sebagaimana ditunjukkan oleh Hal Foster dalam Postmodern
Culture (1983), estetika postmodern merupakan bentuk-bentuk subversif dari kaidahkaidah baku estetika modern. Bentuk-bentuk idiom estetik postmodernisme yang
digunakan sangat aneh di telinga masyarakat umum. Diantaranya adalah pastiche,
parodi, kitsch, camp, skizoprenia. Tanda dan makna pada estetika postmodern
bersifat tidak stabil, mendua, bahkan plural, disebabkan oleh diutamakannya
permainan tanda, keterpesonaan pada permukaan dan diferensi, dari pada maknamakna ideologis yang bersifat stabil dan abadi. Hal ini dapat dicerminkan dari
beberapa bahasa estetik postmodernisme yang bersifat hipereal dan ironis (Piliang,
1998:306-308).
Secara umum, pastiche adalah karya seni yang disusun dari elemenelemennya dipinjam dari masa lampau sehingga tampak imitatif, tanpa beban, dan
kurang orisinal. Karya-karya yang memiliki idiom pastiche sering diidentikkandengan ”tanpa semangat jaman”, sehingga mempunyai konotasi negatif sebagai
miskin kreativitas. Parodi adalah karya seni yang berisi kritik dan kecaman dengan
meniru ungkapan khas gaya tertentu dimana kelucuan dan keabsurdan muncul dari
distorsi dan plesetan ungkapan yang digunakan di dalamnya. Gagasan, gaya atau
ungkapan khas seniman dipermainkan sedemikian rupa untuk membangun sense of
humor seperti polemik, kecaman, tak puas.dan tak nyaman. Kitsch adalah karya seni
yang mencerminkan rendahnya bakuan estetik yang dimiliki dan bahkan merupakan
seni palsu (pseudo art) yang sifatnya murahan. Karya-karya demikian sering
bertujuan untuk me”massa”kan atau mendemitosisasi seni tinggi, menghasilkan efek
segera untuk kepentingan ekonomi. Strategi penciptaannya adalah reproduksi,
adaptasi, dan stimulasi dari karya-karya yang sudah ada dengan mengganti
mediumnya sehingga kelihatan imitasi. Camp adalah suatu model estetisme dalam
keartifisialan dan stilisasi sehingga merupakan karya seni yang ingin kelihatan
berlebihan, spesial, glamor, dan vulgar. Schizoprenia yang sering diartikan sebagai
kekacauan, adalah karya seni dimana rantai pertandaan di dalamnya putus sehingga
tidak ada pertautan yang membentuk ungkapan atau makna dan tidak ditemukan
hubungan yang stabil antara konsep atau petanda dan penandanya.
a. Klasisisme Musik Kontemporer ”Apang Sing Keto”
Musik kontemporer ”Apang Sing Keto” adalah hasil dari tugas kelas
mahasiswa semester VIII jurusan karawitan ASTI Denpasar tahun 1987. Sebagai
sebuah tugas mata kuliah Komposisi Karawitan VI, materi kelas memang diarahkan
pada penciptaan musik dengan menggunakan konsep-konsep, idiom, dan jiwa
kekinian, terus menerus melakukan eksplorasi untuk menemukan sesuatu yang baru.
Berbekal dari konsep inilah para komposer muda mencoba melakukan eksperimeneksperimen, diawali dengan pencarian tema/topik, kemudian eksplorasi alat atau
media bunyi, dilanjutkan dengan improvisasi musikal dan pembentukan hasil dari
improvisasi tersebut. Alat musik atau media ungkap musik kontemporer ”Apang Sing Keto”
diambil dari sebagian barungan Gamelan Gong Gede terutama yang berbilah. Dalam
hal menggunakan gamelan, komposer tidak lagi memandang Gong Gede sebagai
kesatuan bentuk ansambel, melainkan hanya sebagai sumber bunyi. Tujuannya adalah
untuk menghasilkan suara musikal sesuai dengan tuntutan karya yang diinginkan.
Cara membunyikan alat-alat musik inipun berbeda dari kelaziman seperti misalnya
dengan cara menggosok, memukul sambil menekan, dan memukul dengan
membiarkan tanpa ditutup.
Struktur musik ”Apang Sing Keto” tidak lagi terikat pada struktur
konvensional seperti Tri Angga, melainkan dibiarkan mengalir secara bebas. Bingkai
pembatas sengaja dibuat sangat lentur sehingga struktur menjadi dinamis dan bahkan
bentuknya tidak tetap. Hal ini dapat diamati dari banyaknya bagian-bagian yang
digarap dengan improvisasi baik vokal maupun instrumental. Dari segi olahan vokal,
tidak terbatas pada bentuk nyanyian atau tembang, melainkan termasuk obrolan,
pekikan, desah yang saling mengisi.
Selain penggunaan gamelan Gong Gede, unsur lain yang masih bisa dikenali
idiom tradisi dalam garapan ini adalah peminjaman tembang-tembang yang sudah ada
seperti misalnya lagu ”Goak Maling Taluh” sebagai main body dari karya ini.
Namun demikian pengolahan aransemennya cukup memberikan warna baru, diselingi
dengan lirik vokal yang menggelitik dan terkadang lucu, membuat olahan melodi dan
ritme terasa hidup.
Karya ini disajikan dalam bentuk konser musik sehingga penggarapan artistik
dari segi visual juga mendapat perhatian. Setting gamelan dibagi menjadi dua bagian
yang saling berhadapan memberikan kesan komunikasi yang sangat intensif. Selain
bahasa musikal lewat alat musik, tepukan tangan, dan hentakan kaki juga mewarnai
karya ini, kemudian dipadu dengan gerakan dan akting para pemain. Di luar
kebiasaan yang ada, para pemain berpindah-pindah dari satu instrumen ke instrumen
lainnya. Kostum digarap sederhana namun memberikan kesan mendalam karena
terkait dengan tema yang diusung yaitu pergaulan bebas muda-mudi yang seringberakhir dengan malapetaka. Ketika si pemudi hamil sedangkan si pemuda tidak siap
menikahinya maka korbannya selalu ada pada pihak pemudi. Oleh sebab itu para
pemudi harus hati-hati memawa diri ”apang sing keto” (agar tidak demikian). Katakata apang sing keto inilah yang dijadikan lirik musikal dalam garapan musik
kontemporer ini.
Sesuai dengan sifat estetika postmodern, semua pengolahan baru dari karya
ini bukanlah dalam rangka ’anti kemapanan’, melainkan hanya sebagai reaksi dari
kemapanan yang dianggap sering menimbulkan sesuatu yang monoton. Postmodern
tetap memanfaatkan hal-hal yang dianggap baik pada era modern (re-use) dan
menyusun kembali potongan-potongan (collage) dari unsur-unsur tradisional dan
modern serta mendaur ulang dalam konteks yang baru. Estetika postmodern dalam
mencermati tanda dan makna bersifat tidak stabil, mendua, dan plural. Hal ini
disebabkan oleh diutamakannya permainan tanda, keterpesonaan pada permukaan dan
diferensi, dari pada makna-makna ideologis yang bersifat stabil dan abadi.
Dari segi tema penggarapan, karya ini dapat dikatagorikan sebagai sebuah
Parodi, karena berisikan kritikan dan sindiran dengan meniru ungkapan gaya khas
ditambah dengan plesetan-plesetan dan kelucuan. Ciri lainnya, karya ini juga dapat
dimasukkan ke dalam pastiche, karena banyak elemen-elemen musikal diambil dari
masa lalu, kendatipun diakui kurang orisinil. Penggunaan gamelan Gong Gede,
penggunaan tembang ”Goak Maling Taluh” sebagai main body, merupakan pinjaman
dari elemen masa lalu. Namun dengan pengolahan yang baik semua unsur atau
elemen masa lalu yang diambil tidak mempengaruhi kualitas karya ini. Hal ini
dibuktikan ketika dipentaskan pertama kali pada Pesta Kesenian Bali Tahun 1997,
karya ini mendapat sambutan dan membuat penonton sangat menikmati. Wacana
yang muncul di kalangan masyarakat akademik ASTI tentang karya inipun cukup
membuat hangatnya suasana diskusi-diskusi. Karya ini dianggap sebagai salah satu
model pengembangan dan kreativitas terkini dan mahasiswa telah mampu
mewujudkannya ke dalam sebuah karya musik. b. Radikalisme Musik Kontemporer ”Gerausch”
Karya Musik berjudul ”Gerausch” memiliki situasi berbeda dengan ”Apang
Sing Keto” kendatipun sama-sama digarap dengan menggunakan konsep karya
kontemporer. Dalam karya ini komposer melakukan eksplorasi menyeluruh mulai
dari instrumen musik, olahan musikal, melakukan vokabuler teknik dan penyajian,
bahkan cenderung melampaui batas-batas estetis. Secara terus terang komposer
menginginkan sebuah karya eksperimental yang berusaha melepaskan diri dari polapola atau kaidah-kaidah karawitan Bali. Dari judulnya saja ”Gerausch” dalam bahasa
Jerman yang artinya kurang lebih sama dengan noise dalam bahasa Inggris yang
artinya bunyi yang tidak bernada atau tidak bernada tepat.
Arsawijaya (2005:5) menyebutkan karya ini diilhami oleh adanya karya-karya
musik abad XX di Jerman yang disebut dengan ”Gerausch Music”, yaitu karya
musik yang bertolak dari suara-suara umum yang dianggap jelek. Suara sumbang atau
jelek pada pendirian estetis, oleh para komponis musik abad XX dipakai sebagai
unsur untuk mencapai keindahan. Seperti halnya ide black is beautiful yang muncul
di Amerika Serikat sekitar tahun 1950-an adalah sebuah usaha untuk merubah
keyakinan estetik manusia bahwa yang gelap adalah jelek. Dalam hal ini estetika
musik tidak hanya menyangkut soal rasa, akan tetapi juga masalah kesadaran dan
inteligensia manusia dalam menyikapi. Dalam menikmati karya seperti ini penonton
tidak dimanjakan dengan suara merdu, mengalun, sehingga mereka terbuai,
melainkan diajak mengembangkan imajinasi, melatih kepekaan dan kesabaran,
sehingga pada akhirnya setiap penikmat akan memiliki kesan yang berbeda-beda.
Mempertanyakan sekaligus menghujat, mencaci maki, atau mungkin ada juga yang
berusaha memahami, mencari makna dari apa yang mereka saksikan adalah wacana
yang memang diinginkan dari karya seperti ini. Disinilah letak kesadaran dan
inteligensia manusia diuji.
Dari segi instrumentasi karya ini menggunakan 20 potongan pipa besi (tiang
teflon) dengan ukuran berbeda-beda, dengan tiga jenis alat pemukul untuk
memunculkan suara-suara yang berbeda. Selain itu urutan bilah besi yang tidakmemiliki susunan laras berjumlah sepuluh digantung di atas kayu dan ditambah
dengan deretan potongan besi cor ukuran kecil. Ada juga instrumen khusus untuk
bermain inprovisasi berupa plat besi yang dibentuk menyerupai gong tanpa moncol,
dimainkan dengan alat pemukul dari paku kayu dan penggunaan mesin gerinda untuk
menghasilkan efek suara dan percikan bunga api.
Struktur garapan karya ini dibagi menjadi tiga bagian namun tidak mengkuti
konsep tri angga seperti pada struktur garapan karawitan tradisi Bali. Komposer
memberikan istilah bagian pertama adalah pengenalan, yaitu semua instrumen seolaholah diperkenalkan. Bagian kedua adalah penonjolan berbagai jenis dan pola
permainan ritmis yang dilanjutkan dengan improvisasi setiap pemain. Bagian ketiga
sebagai klimaksnya diisi dengan penonjolan teknik permainan dengan main bersama,
dan karya ini diakhiri dengan pukulan instrumen semakin keras dan semakin gaduh
oleh seluruh pemain.
Pengolahan musikalitas seperti melodi, ritme, harmoni, dan unsur lainnya
kendatipun telah memperlihatkan sebuah pengorganisasian yang teratur, namun
karena didominasi oleh suara-suara noise, gaduh, dan sumbang tentu bagi sebagian
besar penonton akan sulit mencerna musik ini. Saya memahami bahwa karya ini
dapat disebut sebagai sebuah musik berdasarkan prinsip sederhana, yaitu ketika
rekayasa bunyi dan ritme telah menyatu dalam sebuah terminal maka sudah bisa
disebut sebagai musik. Hal lain seperti misalnya prinsip melodi, terjadi dari
perjalanan nada-nada yang berbeda tinggi rendahnya dan itu terjadi dari lima
potongan pipa besi yang sengaja dibuat bernada. Namun, jika kita berpatokan pada
keberadaan nada itu adalah seperti yang ada dalam laras pelog, selendero, dan
diatonis, maka seolah-olah tidak ada nada dan melodi dalam garapan ini.
Hal yang perlu dijelaskan berkaitan dengan penikmatan estetis penonton
ketika itu adalah, sejak awal penonton sudah dibuat gelisah. Suara potongan pipa besi
yang dipukul dengan hammer dari besi sangat memekakkan telinga, sehingga banyak
penonton yang keluar. Sementara yang lainnya menggerutu dengan nada kesal,
namun ada juga yang mengamati dengan tekun untuk melihat apa yang terjadikemudian. Satu hal yang menarik adalah ketika mesin gerinda digelontorkan pada
lempengan besi sehingga mengeluarkan api pijar, suara mesin yang mendengung,
kemudia disambut dengan pukulan pipa besi yang meledak-ledak, penonton bertepuk
tangan. Dari hal ini dapat kita cermati bahwa ada unsur keunikan atau sesuatu yang
”beda” terjadi dalam garapan ini yang membuat penonton bertepuk tangan.
Jika karya ”Apang Sing Keto” mendapat sambutan penonton tentunya dapat
dipahami karena musik ini masih mampu dicerna oleh penonton. Dari segi
penggunaan alat saja penonton sudah memiliki aesthetic experience terhadap gamelan
Gong Gede yang nilai estetisnya telah sering mereka nikmati. Penggunaan vokal jenis
cecantungan di bagian awal, melodi lagu ”Goak Maling Taluh” dan beberapa
ungkapan-ungkapan budaya tradisi yang mewarnai garapan ini tentu sesuatu yang
sudah tidak asing lagi bagi penonton. Jika demikian pertanyaannya sekarang adalah
dimana letak estetika kontemporernya atau kekinian dari karya ini. Unsur kekinian
terletak pada dekonstruksinya terhadap kemapanan tradisi yang dianggap
membelenggu kreativitas. Dekonstruksi yang dimaksud dalam hal ini adalah
bukannya membongkar dalam artian kosong, melainkan membongkar sebagai sebuah
tindakan merevisi, untuk menemukan hal yang baru yang sesuai dengan alam
pemikiran masa kini. Unsur-unsur apa yang direvisi oleh komposer dalam karya
”Apang Sing Keto” ini adalah segala sesuatu yang menghambat kreativitasnya seperti
landasan nilai yang tunggal, legitimasi kebenaran, karena semua hal ini acap kali
menimbulkan penindasan dan pemasungan.
Karya musik kontemporer ”Gerausch” dari sisi penikmatan estetik lebih
banyak ”dipertanyakan” kalau tidak ditolak. Jika kita cermati, dengan banyaknya
pertanyaan terhadap karya ini, dengan semaraknya wacana yang dimunculkan oleh
karya ini, sesuai dengan konsep musik kontemporer sebagai sebuah karya intelektual,
artinya karya ini cukup berhasil. Sesuai dengan konsep estetika postmodern dimana
bentuk mengikuti kesenangan (form follows fun) maka permainan petanda dan
penanda tidak menimbulkan makna yang tunggal dan bulat melainkan plural. Bagi
penonton kebanyakan yang belum memiliki pemahaman dan pengalaman estetiktentang karya-karya seni postmodern pada umumnya belum siap menerima. Hal ini
wajar karena ukuran atau standar yang mereka gunakan adalah standar umum yang
cenderung mereka anggap sebagai sebuah kebenaran tunggal. Menghadapi kenyataan
seni postmodern seperti ”Gerausch” yang tidak dapat memberikan sebuah
kenikmatan (kelangen), maka seakan-akan seni seperti itu adalah sebuah khaos.
Bukan, seni yang demikian bukanlah kekacauan melainkan adalah keteraturan baru.
Kebaruannya inilah yang sering tampak sebagai kekacauan, karena tidak cocok
dengan norma-norma (lama) yang ada.
5. Penutup
Dari seluruh uraian di atas, wacana tentang hubungan seni dan keindahan
tidak bisa dipahami secara tergesa-gesa, karena keduanya memiliki dimensi yang
sangat luas dan kompleks. Pada mulanya keindahan hanya dimengerti sebagai sesuatu
yang dapat memberikan rasa senang, rasa, nyaman, rasa, tentram, dan damai. Namun
dalam perkembanganya kemudian, keindahan sebagai hasil ciptaan atau rekayasa
(cultural beauty), maka standar untuk mengamati sesuatu yang indahpun bergeser
mengikuti perkembangan paradigma berfikir masyarakat. Jika kesenian adalah salah
satu unsur terpenting dari kebudayaan (Koentjaraningrat, 1974:2), maka seni
seharusnya tidak dinilai dari segi karakter estetik dan artistiknya semata, melainkan
dari posisi dan kaitannya dengan kebudayaan, seni sebagai tuntutan terhadap dan
tentang kebudayaan (Smith-Autrad,1994:35). Merujuk pada pengertian ini, dalam
menikmati seni kontemporer kita dihadapkan pada norma, paradigma, dan prilaku
yang kompleks.
Seni mengandung nilai-nilai estetika (keindahan), etika (moral) dan logika
(kaidah berfikir yang benar). Bagi masyarakat Bali, hal ini adalah tiga kesempurnaan
yang selalu dijadikan acuan dalam berkreativitas. Konsep ini pula yang menyebabkan
perkembangan seni di Bali selalu dalam kesinambungan dan perubahan. Terkait
dengan seringnya terjadi penolakan masyarakat terhadap munculnya seni-seni baru,
sesungguhnya bukan berarti masyarakat Bali tidak terbuka terhadap perubahan, sayamengamati hal itu disebabkan karena perubahan yang terjadi adalah perubahan yang
sangat radikal, sehingga masyarakat ”terkejut” sehingga belum siap menerima.
Gregori Bateson dalam tulisannya berjudul ”Bali The Value System Of Steady State”
(1970) menyebutkan, masyarakat Bali yang dia akui mempertahankan suatu
keseimbangan dinamik lewat variabel-variabel yang non-maksimasi, dan kelenturan
dalam sistemnya (dalam Belo,1970: 384-401). Dengan demikian konsep
pembaharuan yang dianut adalah secara bertahap, tidak mengadakan perubahan
radikal. Leonard P. Meyer menyebut hal ini dengan suatu ”keadaan mantap” (steady
state) dan menjelaskan tipe perubahan seperti ini lebih mengutamakan masalah
mempertahankan stabilitas dari pada originalitas yang radikal (Meyer,1970: 101).
Meyer mempertentangkan proses transformasi yang terjadi di Barat, yaitu
pembaharuan cenderung menjadi sifat-sifat yang positif, perubahan yang terjadi
sangat pesat dan luas, mengambil bentuk trend-trend dinamika atau mutasi yang
menyolok (ibid).
Dengan memahami tipe perkembangan masyarakat Bali seperti itu, dapat
dipahami bahwa kenapa karya musik kontemporer ”Apang Sing Keto” langsung bisa
dicerna, karena seniman dalam melakukan inovasi tidak radikal. Penggunaan unsurunsur tradisi sebagai media utama dirasakan sebagai sesuatu yang tidak asing bagi
masyarakat Bali. Hal ini berbeda dengan karya musik kontemporer ”Gerausch”
perubahan yang dilakukan sempat ”mengejutkan” sehingga membuat penonton belum
sempat mencernanya. Namun sesungguhnya masyarakat Bali hanyalah memerlukan
waktu untuk memahami karya-karya seni radikal, selain itu penjelasan dari kaum
intelektual seni juga diperlukan untuk memperkaya batin dan imajinasi. Kelahiran
karya-karya kontemporer harus juga didukung dan diberikan ruang karena ia adalah
bagian dari peradaban manusia itu sendiri. Ia mesti disandingkan dengan seni tradisi
yang telah memiliki legitimasi kuat dalam mendukung pencitraan budaya Bali. Tentu
kita masih setuju dengan ”pujian” Claire Holt (1967) terhadap kekayaan dan
keragaman kesenian Bali, yang konon terjadi karena seniman Bali menganut konsep
kesinambungan dan perubahannya (continuities and change)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
New Jersey casinos may be gambling sites and how to
BalasHapusand a number of 서울특별 출장샵 casinos 화성 출장샵 are also 부산광역 출장마사지 to begin 의정부 출장샵 betting on sports and casino gambling, in this case online gambling. Rating: 3.5 · Review by Donnie 사천 출장안마 Peters